Aku Mengenal Da’i Itu Dari Suaranya

Pagi-pagi buta, tepat lima menit setelah shubuh. Teriakan itu selalu kedengar di telingaku. “Bangun, sudah pagi. Solat shubuh! Percuma ngaji setiap sore kalo solatnya kelewat,” kira-kira kata seperti itulah yang keluar dari mulut emaku dan itu selalu berdendang di telingaku dari kecil hingga menjelang menginjak bangku SMA kelas 3, namun teriakan itu sudah tidak terdengar lagi ketika saya telah merantau ke Jogja.

Mendengar teriakan itu, seringkali saya mengiyakan agar suara itu tidak bergaung lagi, namun dengan tetap mata terpejam dan badan memeluk bantal guling tua yang tidak empuk karena sudah lama tidak dijemur. Selang 15 menit teriakan itu muncul lagi. Kali ini lebih keras, dan emaku langsung sambil mendaratkan tangannya ke tubuhku perlahan-lahan. Dan akhirnya dengan sangat berat sayapun  beranjak dari bale menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.


Selepas sholat shubuh, maka aktivitas rutin yang biasa kulakukan adalah melepas hewan-hewan ternaku: bebek, ayam, dan itik. Ya walaupun baru SMP, saya telah mempunyai banyak ternak. Setelah itu, saya akan duduk dipintu belakang rumah yang tepat di depan pelupuk mataku terhampar ladang luas dengan banyak pohon mangga dan pisang. Sambil duduk, kuberikan makanan rutin untuk ternakku dengan ditemani sebuah radio tua milik orang tuaku bermerk:”National”. Konon kabarnya, radio itu sudah berumur 15 tahun. Radio tua itu adalah temanku yang paling setia dari kecil hingga saya merantau ke Jogja. Radio itu adalah temanku satu-satunya ketika saya sedang belajar sambil ditemani alunan musik. Tidak ada yang lain, bahkan televisipun   orang tua saya tidak punya. Tidak tahu mengapa orang tuaku berprinsip demikian, menurutnya dengan mempunyai televisi maka akan membuat anak malas belajar, begitulah orang tuaku beralasan.

Ya radio itu  membuatku menjadi tahu dengan sosok seseorang yang saya kenal hanya dari suaranya ketika memberikan makanan ruhani untuk umat muslim ketika pagi setelah shubuh dan menjelang maghrib. Dengan radio itu, pengetahuan tentang islamku bisa bertambah. Salah satunya cerita nabi yusuf, nabi sulaiman sangat berakar otaku. Cerita masitoh yang memegang prisnip iman islampun sangat saya ingat. Kisah nabi ibrahim dan namrudz, nabi musa dan firaun, umar bin khatab, dan masih banyak kisah-kisah lainya. Selain itu Bila ajal tiba, cara mendidik anak, dasar dan tujuan hidup muslim, golongan penghuni syurga, harta, takhta dan wanita, mencari jodoh,  neraka dan calon penghuninya, rumah tangga, sikap kita terhadap alqur’an, taubat, ulamak dan umarok, ulamak pewaris nabi, dan masih banyak yang lainya. Dan ada banyak pengetahuan islami lainya yang saya ketahui dari suara itu. Radio itu benar-benar menjadi teman saya untuk mendengarkan suara itu ketika sebelum berangkat sekolah, ketika sambil memberikan makan ternaku, dan ketika saya sedang menyantap sarapan pagi.

Suara itu saya kenal sangat lama dengan tidak mengetahui mukanya. Suara itu telah dikenal diseluruh pelosok penjuru Indoensia. Suara itu memiliki daya tarik bagi semua orang ketika mendengarnya.Tidak membosankan. Humoris, luwes dan mudah dimengerti baik dikalangan awam sekalipun. Suara itu benar-benar mencerahkanku dalam menapaki hidup ini. Suara yang benar-benar keluar dari seorang yang mempunyai semangat islami.

Namun, sungguh membuatku terhenyak, tepat dihari Selasa, 5 Juli 2011, sang pemilik suara itu telah wafat secara mendadak. Besoknya kudengarkan berita di televisi, tak terasa kuteteskan air mata. Sungguh saya kehilangan beliau walau hanya mengenal dari suaranya. Bagiku beliau adalah mencerahkanku. Belakangan diketahui gaya bahasa beliau sangat terinspirasi oleh Soekarno dan Buya Hamka. Sama halnya dengan diriku, begitu mengagumi kedua tokoh besar itu. Selamat jalan Da’i Sejuta Umat, KH. Zainuddin MZ, semoga semua ibadah dan amalnya dapat diterima disisi Allah,SWT. Amin…

Leave a comment